Dunia Kebinatangan (Cikusyo)
Dalam kutipan gosyo dikatakan, "Binatang terdiri dari 6.400 jenis ikan, 4.500 jenis burung, 2.400 jenis binatang lainnya, yang semuanya menjadi 13.300 jenis. Semua itu dinamakan Dunia Binatang". Artinya suasana jiwa seperti ikan, burung, atau binatang lainnya, yang dari dasarnya tidak memiliki kesadaran dan batasan moral yang wajar.
Dunia Kebinatangan adalah jiwa yang bodoh akan teori kewajaran. Mengenai "Cikusyo". "Ciku" berarti dipelihara dan dijaga, dan "Syo" berarti hidup atau mahkluk hidup. Oleh karena itu, binatang adalah mahkluk hidup yang dipelihara, seperti sapi, kuda, dan binatang lainnya. Secara luas mencakup juga burung, ikan, dan binatang liar lainnya.
Kadang untuk memarahi seseorang, kita mengumpat dengan berseru "binatang." Itu terjadi mungkin karena orang yang dimarahi dianggap seperti sapi, kuda, dan lainnya, sehingga timbul sebutan itu.
Dunia Kebinatangan dalam Hukum Buddha berada pada urutan ketiga dari tiga dunia buruk (neraka, keserakahan, kebinatangan). Dunia Kebinatangan adalah suasana jiwa dari sapi, kuda, ikan, burung, dan lainnya. Dalam jiwa manusia juga tercakup sifat dasar binatang.
Dalam "Surat Kanjin no Honzon." Nichiren Daishonin mengatakan binatang adalah kebodohan. Artinya buta terhadap teori kewajaran, serta tidak mengetahui akar pokok dari jiwa dan hukum yang mencakup alam semesta, yakni Nammyohorengekyo.
Orang yang dasar jiwanya dunia kebinatangan, perilakunya didasari oleh naluri dan insting sehingga tidak dapat menilai kebaikan dan keburukan, serta tidak dapat membedakan yang benar dan salah. Dunia kebinatangan tidak memiliki logika, moral, dan etika.
Dalam "Surat dari Sado" dibabarkan, "Ikan menyayangi jiwanya sehingga tinggal di dasar kolam. Karena merasa kolamnya dangkal, maka menggali lubang untuk menetap. Namun karena terjebak umpan, akhirnya terpancing." (Gosyo hlm. 956). Itu adalah mengutip perumpamaan tentang ikan.
Begitupun dengan manusia, jika hidup hanya mengikuti naluri, maka akan menghancurkan diri sendiri.
Pada umumnya manusia hanya tergantung hal yang terlihat di depan mata tanpa mengetahui hal di balik yang terlihat tersebut. Juga tidak mengetahui hal utama yang penting, sehingga akhirnya menyesal dan menderita.
Dalam "Surat Perihal Majikan, Guru, dan Ayahbunda" telah dibabarkan wujud dari penderitaan tersebut melalui pandangan mengenai jiwa dari ketiga masa secara konkret. "Satu saat menjadi sapi dan kuda yang mengangkut beban berat. Sebenarnya ingin ke arah barat, tapi harus pergi ke arah timur. Sebenarnya ingin pergi ke arah timur, tapi harus pergi ke arah barat. Hanya memikirkan bukit pegunungan yang banyak rumput dan air untuk makan dan minum, tanpa memikirkan hal yang lain." (Gosyo hlm. 389)
Lalu, bagaimana ketika menghadapi binatang lainnya ? Dalam salah satu Gosyo dibabarkan, "Mahluk yang panjang menelan mahluk yang pendek. Mahluk yang besar memakan mahluk yang kecil, serta saling menikam tiada henti" (Gosyo hlm. 398). Binatang yang lebih kuat selalu memangsa yang lebih lemah.
Oleh karena itu, kebiasaan orang yang dasar jiwanya dunia kebinatangan adalah sombong terhadap orang yang dianggap lebih lemah. Juga gemar menjilat orang yang dianggap lebih kuat. Kebiasaan hidup orang dari dunia binatang adalah tidak memiliki rencana dan tujuan, sering putus asa menghadapi suasana yang sulit. Kesombongan ini berbeda dengan Dunia Ashura yang akan kita bahas di bab selanjutnya.
Manusia dari dunia kebinatangan tidak memiliki prinsip hidup yang dia yakini. Dia hanya tunduk pada uang dan kekuasaan. Dasar sifat dunia binatang ini terdapat pada manusia yang hidup dalam berbagai tingkat kedudukan dan reputasi dalam masyarakat kita. Keadaan manusia seperti ini sangat memprihatinkan, karena tidak memiliki inisiatif. Bagaikan rumput yang tak berakar mengikuti gelombang laut.
Demikianlah suasana jiwa dunia binatang yang hidup mengikuti naluri. Selalu meindas orang yang dianggap lebih lemah dan takut menghadapi orang yang dianggap lebih kuat. Akhirnya akan menghancurkan diri sendiri. Suasana jiwa yang picik seperti ini dapat disimpulkan dengan satu kata "Kebodohan."
Kadang untuk memarahi seseorang, kita mengumpat dengan berseru "binatang." Itu terjadi mungkin karena orang yang dimarahi dianggap seperti sapi, kuda, dan lainnya, sehingga timbul sebutan itu.
Dunia Kebinatangan dalam Hukum Buddha berada pada urutan ketiga dari tiga dunia buruk (neraka, keserakahan, kebinatangan). Dunia Kebinatangan adalah suasana jiwa dari sapi, kuda, ikan, burung, dan lainnya. Dalam jiwa manusia juga tercakup sifat dasar binatang.
Dalam "Surat Kanjin no Honzon." Nichiren Daishonin mengatakan binatang adalah kebodohan. Artinya buta terhadap teori kewajaran, serta tidak mengetahui akar pokok dari jiwa dan hukum yang mencakup alam semesta, yakni Nammyohorengekyo.
Orang yang dasar jiwanya dunia kebinatangan, perilakunya didasari oleh naluri dan insting sehingga tidak dapat menilai kebaikan dan keburukan, serta tidak dapat membedakan yang benar dan salah. Dunia kebinatangan tidak memiliki logika, moral, dan etika.
Dalam "Surat dari Sado" dibabarkan, "Ikan menyayangi jiwanya sehingga tinggal di dasar kolam. Karena merasa kolamnya dangkal, maka menggali lubang untuk menetap. Namun karena terjebak umpan, akhirnya terpancing." (Gosyo hlm. 956). Itu adalah mengutip perumpamaan tentang ikan.
Begitupun dengan manusia, jika hidup hanya mengikuti naluri, maka akan menghancurkan diri sendiri.
Dalam "Surat Perihal Majikan, Guru, dan Ayahbunda" telah dibabarkan wujud dari penderitaan tersebut melalui pandangan mengenai jiwa dari ketiga masa secara konkret. "Satu saat menjadi sapi dan kuda yang mengangkut beban berat. Sebenarnya ingin ke arah barat, tapi harus pergi ke arah timur. Sebenarnya ingin pergi ke arah timur, tapi harus pergi ke arah barat. Hanya memikirkan bukit pegunungan yang banyak rumput dan air untuk makan dan minum, tanpa memikirkan hal yang lain." (Gosyo hlm. 389)
Lalu, bagaimana ketika menghadapi binatang lainnya ? Dalam salah satu Gosyo dibabarkan, "Mahluk yang panjang menelan mahluk yang pendek. Mahluk yang besar memakan mahluk yang kecil, serta saling menikam tiada henti" (Gosyo hlm. 398). Binatang yang lebih kuat selalu memangsa yang lebih lemah.
Oleh karena itu, kebiasaan orang yang dasar jiwanya dunia kebinatangan adalah sombong terhadap orang yang dianggap lebih lemah. Juga gemar menjilat orang yang dianggap lebih kuat. Kebiasaan hidup orang dari dunia binatang adalah tidak memiliki rencana dan tujuan, sering putus asa menghadapi suasana yang sulit. Kesombongan ini berbeda dengan Dunia Ashura yang akan kita bahas di bab selanjutnya.
Manusia dari dunia kebinatangan tidak memiliki prinsip hidup yang dia yakini. Dia hanya tunduk pada uang dan kekuasaan. Dasar sifat dunia binatang ini terdapat pada manusia yang hidup dalam berbagai tingkat kedudukan dan reputasi dalam masyarakat kita. Keadaan manusia seperti ini sangat memprihatinkan, karena tidak memiliki inisiatif. Bagaikan rumput yang tak berakar mengikuti gelombang laut.
Demikianlah suasana jiwa dunia binatang yang hidup mengikuti naluri. Selalu meindas orang yang dianggap lebih lemah dan takut menghadapi orang yang dianggap lebih kuat. Akhirnya akan menghancurkan diri sendiri. Suasana jiwa yang picik seperti ini dapat disimpulkan dengan satu kata "Kebodohan."
Saya suka sekali dengan blog ini
BalasHapusMembuat saya sadar dengan arti kehidupan
Saya tunggu lagi ya artikel selanjutnya